Pada
sisi lain, cukup banyak keluhan masyarakat terhadap dampak negatif dari
berbagai program tayangan sehingga mengkhawatirkan sejumlah kalangan. Bahkan
pihak pemerintah sendiri sudah membaca kekhawatiran tersebut dengan membentuk
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga ke tingkat provinsi dengan KPID-nya.
Hampir di seluruh lapisan masyarakat, di
segala tingkat strata pendidikan, tiada hari yang terlewat tanpa menonton
televisi. Setiap orang, dari anak-anak, muda dan dewasa bahkan yang sudah uzur
bisa dipastikan akan menghabiskan beberapa jam bahkan hampir seharian duduk dan
menikmati tayangan televisi. Kehadiran televisi menyuguhkan berbagai acara yang
beragam dan menarik tanpa kompromi. Artinya, ia hadir di tengah-tengah kita
dengan sukarela, kapanpun kita ingin menikmatinya, kita cukup menekan sebuah
tombol. Ditambah lagi dengan hadirnya 11 stasiun televisi nasional, seolah
tidak ada kata bosan, kita merelakan setiap hari waktu kita bersamanya.
Salah satu yang sangat menggelisahkan kita yakni saat menyaksikan tayangan-tayangan televisi belakangan ini. Hampir semua stasiun-stasiun televisi, menayangkan program acara (terutama sinetron) yang cenderung mengarah pada tayangan berbau kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan (hedonisme). Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi rating tanpa memerhatikan dampak bagi pemirsanya. Kegelisahan itu semakin bertambah karena tayangan-tayangan tersebut dengan mudah bisa dikonsumsi oleh anak-anak. Para tokoh agama, budaya dan cendikiawan yang selalu konsen mengkritisi setiap gerak tayangan televisi, belakangan seakan ikut terkesima tayangan-tayangan yang tidak lagi semipornografi, tapi malah betul-betul menampilkan tayangan sangat memalukan sebagai bangsa yang selama ini cukup bangga dengan “Orang Timur” yang berbudaya tinggi.
Salah satu yang sangat menggelisahkan kita yakni saat menyaksikan tayangan-tayangan televisi belakangan ini. Hampir semua stasiun-stasiun televisi, menayangkan program acara (terutama sinetron) yang cenderung mengarah pada tayangan berbau kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan (hedonisme). Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi rating tanpa memerhatikan dampak bagi pemirsanya. Kegelisahan itu semakin bertambah karena tayangan-tayangan tersebut dengan mudah bisa dikonsumsi oleh anak-anak. Para tokoh agama, budaya dan cendikiawan yang selalu konsen mengkritisi setiap gerak tayangan televisi, belakangan seakan ikut terkesima tayangan-tayangan yang tidak lagi semipornografi, tapi malah betul-betul menampilkan tayangan sangat memalukan sebagai bangsa yang selama ini cukup bangga dengan “Orang Timur” yang berbudaya tinggi.
Bahkan
terkesan tiarap dan tidak lagi mau mengkritisi tayangan-tayangan yang tidak
lagi sesuai dengan kaidah dan norma agama. Hasil kajian Yayasan Kesejahteraan
Anak Indonesia, misalnya, mencatat, rata-rata anak usia sekolah dasar menonton
televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari biasa
mereka menonton tayangan televisi lebih dari empat hingga lima jam sehari.
Sementara di hari Minggu bisa tujuh sampai delapan jam. Jika rata-rata empat
jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang
anak lulus SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai
SLTA hanya 13.000 jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu
untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan apa pun, kecuali tidur
(data-data 2004). Lebih parah lagi, kebanyakan orangtua tidak menyadari dampak
kebebasan media yang kurang baik terhadap anak-anak. Indikasi demikian terlihat
anak-anak tidak diawasi dengan baik saat menonton televisi meski di layar cara
itu diterakan kata-kata bimbingan orangtua (BO), dewasa (DW) dan remaja (R).
Dengan kondisi ini sangat dikawatirkan bahkan bisa membahayakan bagaimana dampaknya bagi perkembangan anak-anak.
Dengan kondisi ini sangat dikawatirkan bahkan bisa membahayakan bagaimana dampaknya bagi perkembangan anak-anak.
Kita
memang tidak bisa gegabah menyamaratakan semua program televisi berdampak buruk
bagi anak. Ada juga program televisi yang punya sisi baik, misalnya program
acara pendidikan. Banyak informasi bisa diserap dari televisi yang tidak
didapat dari tempat lain. Namun, di sisi lain banyak juga tayangan televisi
yang bisa berdampak buruk bagi anak. Sudah banyak survei yang dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana dampak tayangan televisi di kalangan anak-anak.
Sebuah survei yang pernah dilakukan salah satu
harian di negara bagian Amerika Serikat menyebutkan, empat dari lima orang
Amerika menganggap kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab
itu sangat berbahaya kalau anak-anak sering menonton tayangan televisi yang
mengandung unsur kekerasan. Kekerasan di televisi membuat anak menganggap
kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (Era Muslim, 27/07/2004).
Di Indonesia suguhan tayangan kekerasan dan kriminal seperti Patroli, Buser, TKP dan sebagainya, tetap saja dengan mudah bisa ditonton oleh anak-anak. Bahkan tayangan program yang berbau kriminal itu terkesan sengaja diblow-up untuk menggambarkan pada masyarakat dan atasan seakan-akan aparat betul-betul bekerja dan berhasil mengungkap suatu kasus. Dan bukan rahasia lagi kalau ada kasus yang berhasil diungkap oleh aparat, direkaya ulang lagi seakan-akan penangkapan yang ditayangkan murni bukan rekayasa.
Di Indonesia suguhan tayangan kekerasan dan kriminal seperti Patroli, Buser, TKP dan sebagainya, tetap saja dengan mudah bisa ditonton oleh anak-anak. Bahkan tayangan program yang berbau kriminal itu terkesan sengaja diblow-up untuk menggambarkan pada masyarakat dan atasan seakan-akan aparat betul-betul bekerja dan berhasil mengungkap suatu kasus. Dan bukan rahasia lagi kalau ada kasus yang berhasil diungkap oleh aparat, direkaya ulang lagi seakan-akan penangkapan yang ditayangkan murni bukan rekayasa.
Televisi
bisa berdampak kurang baik bagi anak, tetapi melarang anak sama sekali untuk
menonton televisi juga kurang baik. Yang lebih bijaksana adalah mengontrol
tayangan televisi bagi anak-anak. Setidaknya memberikan pemahaman kepada anak
mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh. Orangtua perlu
mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi.
Memberikan berbagai pemahaman kepada anak-anak
tentang suatu tayangan yang sedang disaksikan. Selain sarana membangun
komunikasi dengan anak, hal ini bisa mengurangi dampak negatif televisi bagi
anak. Kebiasaan mengonsumsi televisi secara sehat ini mesti dimulai sejak usiadini.
Meski demikian, pihak pengelola program tayangan televisi pun punya
tanggungjawab untuk melakukan penyaringan acara yang ditayangkan.
Perlu
dipahami bahwa tempat pendidikan paling utama adalah di keluarga, dimana
orangtua adalah yang paling bertanggungjawab di dalamnya. Kenapa mesti
orangtua? Karena orangtua yang bisa mengawasi anaknya lebih lama. Orangtua
paling dekat anaknya. Dalam keluargalah anak bertumbuh kembang. Membiarkan anak
menonton televisi secara berlebihan berarti membiarkan tumbuh kembang dan
pendidikan anak terganggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar